Kajian Klasik Terhadap Utang Luar Negeri Indonesia
(Menanggapi Stigma Publik Atas Membengkaknya Utang Luar
Negeri RI)
(Mario Sudianto
Chien)
Apakah utang luar negeri kita menjadi boomerang runtuhnya
NKRI di 2030 ?
Haruskah kita
mengamini opini publik bahwa Persoalan tata kelola anggaran yang tidak terukur
menjadi faktor utama Membengkaknya Utang
Luar Negeri RI ??
Awal kajian : Sepintas gagasan "kekeliruan penafsiran"
Dalam banyak hal kita sering sulit
membedakan mana yang menjadi substansi/objek utama sebuah persoalan, sebuah
perbincangan, sehingga menimbulkan perdebatan yang tak kunjung berakhir. Adapun peliknya persoalan ini, karena
ketidakmampuan kita dalam mengolah informasi. Informasi yang diperoleh tidak
difilter/dikaji lebih dalam. Robert
Kiyosaki dalam bukunya yang berjudul Second
Chance, menulisakan : i x p =
pengetahuan, yaitu pengetahuan untuk memahami, dimana i=informasi dan p= pendidikan. Secara eksplisit, logika
ini mengacu pada dua variabel, yaitu pendidikan dan informasi[1]. Kedua
variabel ini, tentunya berkontribusi terhadap pengelolaan informasi yang
tersedia, Sehingga, kita tidak mudah mengamini sesuatu tanpa difilter terlebih
dahulu, sebagai upaya meminimalisir kekeliruan dalam menafsirkan sesuatu.
Pendidikan menjadi faktor utama dalam
memahami sebuah persoalan, kadang karena rendahnya pendidikan, seseorang sulit untuk mengelolah informasi yang
tersedia disekitar kita, yang menyebabkan misunderstanding
hingga
fail
to understand (gagal paham). Disisi lain, faktor pendidikan ini menjelaskan
bahwa kekeliruan seseorang bukan semata-mata karena ia tak berpendidikan, tetapi
pendidikannya tak selaras dengan substansi persoalan. Semisal, berita yang
dilansir https://kumparan.com muatan berita 24/04/2018,
baru-baru ini tentang ungkapan bapak Presiden kita Jokowidodo, beliau
mengatakan bahwa, orang politik jangan mencampuradukan antara ekonomi dan
politik pun sebaliknya, kalaupun demikian harus berdasarkan basis data yang
jelas. Yang kedua, adalah informasi. Informasi yang tersedia disekitar kita
seyogianya ditimbang terlebih dahulu, dalam artian jangan diekspos sebelum
mengetahuinya secara pasti. Informasi yang kita terima bisa saja telah dibumbui
sedemikian rupa, oleh pihak-pihak tertentu. Kita seharusnya bersikap skeptis, yaitu adanya keraguan akan kebenaran/objektivitas
informasi tersebut, untuk kemudian
ditilik kebenarannya.
ULN dalam Sudut
Pandang Ekonomi
Tulisan ini mencoba menjelaskan
persoalan viral yang mendominasi lini media akhir-akhir ini, yaitu UTANG LUAR
NEGERI (selanjutnya disebut ULN) Indonesia
yang dinilai membengkak, dengan rating awas. Berdasarkan data per Maret 2018 sumber http://www.bbc.com/indonesia ULN Indonesia berada pada kisaran Rp. 4.800
Triliun. Tentunya, angka ini menakutkan dan mengkwatirkan, betapa besar utang yang
ditanggung per orang nantinya, ketika dibagi dengan jumlah populasi, dan bahkan
tidak menutup kemungkinan diwariskan ke generasi berikutnya. Penulis ingin mengkaji persoalan
ini dari sudut pandang ekonomi secara khusus dalam diskursus entrepreunership.
Berdasarkan sifatnya, utang dapat dikelompokan menjadi dua,
yaitu utang yang bersifat konsumtif dan
utang yang bersifat produktif. Utang yang bersifat konsumtif, adalah utang
dilakukan hanya semata-mata untuk memenuhi hasrat konsumsi yang bukan merupakan
prioritas ataupun model investasi (style
; selera tinggi ekonomi lemah) yaitu suatu
sikap yang diperlihatkan
kepada publik sebagai upaya menutupi gengsi, berfoya-foya yang tak sebanding dengan pendapatan. Yang
kedua, adalah utang yang bersifat produktif yaitu utang yang
ketika angsurannya dibayar oleh Tenant
(penyewa) dan kita masih punya saving (simpanan
per bulannya: sewa - angsuran per bulannya). Sebagai contoh misalkan, saya
membeli sebuah rumah seharga Rp120.000.000,00 dengan uang yang diperoleh dari
pinjaman bank, bunga 10% jangka waktu 12 bulan. Angsuran per bulannya sebesar
Rp11.000.000,00 termasuk bunga. Dikontrakan, sebesar Rp12.000.000,00 per bulan. Maka saving-nya sebesar Rp1.000.000,00 per
bulan[2]. Lalu, apa kaitannya dengan ULN kita?, berikut saya jelaskan.
Dalam kaitannya dengan ULN RI, penulis membuat logika singkat. Logikanya sederhana, A=L+E
(A=aset, L=liabilitas dan E=ekuitas). Salah satu cara untuk meningkatkan nilai aset adalah berhutang yaitu mencari
modal tambahan. Dengan catatan, besaran porsi utang diproyeksikan sebanding dengan Modal Dasar (E). Atau setidaknya, kombinasi (E) x Peluang Pasarnya mampu menutupi besaran Utang. Dsalam tulisan ini, saya menganalogikan (E) dengan objek
wisata kita. Dan utang (L) yang kita peroleh untuk meningkatkan Value added (nilai tambah dapat berupa
insfrastruktur, peningkatan kapasitas baik dari segi keamanan maupun fasilitas
penunjang lainnya). Sehingga, semakin tinggi utang aset pun semakin bernilai, dan
tentunya berdampak baik terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang karena
berdampak pada intensitas investasi baik PMD maupun PMA. Disamping itu, ada dampak multipliernya (Multiplier effect), yaitu dapat meningkatkan
kesempatan kerja, meningkatkan transakasi asing terhadap apresiasi rupiah (IDR) terhadap mata uang asing, dengan
ekspektasi meningkatnya wisata asing.
Untuk diketahui, utang kita masih dalam
kondisi wajar sekitar 30-35 % lebih kecil dari ambang batas pada penetapan ULN
RI, yaitu 60% rationya terhadap PDB (produk domestik bruto). Artinya, total utang kita masih dalam batas kemampuan membayar, yaitu kemampuan semua sumber daya yang kita miliki dengan segala potensinya.
Jadi jangan
cemas apalagi gentar tentang wacana runtuhnya NKRI di 2030. Optimis saja bahwa
ULN kita akan membawa perubahan untuk Indonesia yang lebih baik.
[1]
Kiyosaki, R. (2017). Second Chance. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama...(page 9-10)
[2]
(2015, September 14). Diambil kembali dari
http://www.cermati.com
0 Response to "Kajian Klasik Terhadap Utang Luar Negeri Indonesia"
Post a Comment